REFERENDUM YUNANI MEMPERBURUK KRISIS EROPA
Ibarat tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba
saja Perdana Menteri Yunani George Papandreou pada Selasa lalu (1/11) secara
mengejutkan membuat pengumuman akan mengadakan referendum atas rencana
penyelamatan dari Eropa yang bernilai 130 miliar euro.
Yunani juga mengajukan rencana untuk penghapusan 50% dari utangnya yang maha
besar. Namun Eropa mengancam akan mengeluarkan Yunani jika tidak bersedia
mematuhi aturan bailout seperti yang sudah disepakati sebelumnya.
Kini malah muncul tudingan tajam kepada Yunani, bahwa untuk masuk Zona Euro,
ada kemungkinan Yunani yang kini dilanda krisis keuangan telah melakukan
kebohongan dalam data fiskalnya. Faktanya, sekarang rasio utang Yunani terhadap
PDB (Produk Domestik Bruto) mencapai 160%.
Padahal untuk masuk zona Euro, syaratnya rasio utang terhadap PDB tidak boleh
melebihi 60% sebagai batas aman. Jadi, aneh ketika Yunani sudah masuk anggota
Uni Eropa dengan 16 negara lainnya, negara ini malah terjerembab pada kubangan
utang yang teramat besar. Praktis sebenarnya secara teknis keuangan Yunani
sudah bangkrut atau pailit. Tidak heran apabila risiko gagal bayar (default
risk) atas utang-utangnya sudah di depan mata.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS), yang juga sedang dilanda krisis
keuangan, rasio utang terhadap PDB-nya sebesar 100%. Sementara rasio utang
Indonesia terhadap PDB hanya 26%. Jelas bahwa kondisi Yunani sekarang sangat
memprihatinkan sehingga Negeri Para Dewa itu terancam kebangkrutan. Kendati
utangnya dipotong separuhnya pun utang negara ini tetap terbilang besar.
Masih ada jalan lain, yakni dengan restrukturisasi utang, sehingga dampaknya ke
pasar finansial terbatas. Pasalnya, langkah tersebut secara hukum bukan default
karena debitur, dalam hal ini Yunani dan krediturnya sepakat melakukan
restrukturisasi utang. Celakanya kalau sampai Yunani tidak mau membayar utang
yang secara hukum dan pasar finansial dunia berimplikasi berat. Kalau Yunani
sampai melakukan tindakan ini, investor khawatir negara tetangga juga ikut
minta restrukturisasi. Inilah efek domino atas kegagalan Yunani dalam
merestrukturisasi utangnya.
Masalahnya adalah kesepakatan untuk memberikan bailout kepada Yunani dengan
segenap persyaratannya yang dirasakan pahit sudah diputuskan minggu lalu. Jadi,
kenapa PM Papandreau justru ingin melakukan referendum. Yang mengkhawatirkan,
seluruh unsur kabinet Yunani menyetujui rencana referendum tersebut sebelum
dimintakan pendapat kepada seluruh rakyat Yunani.
Hampir bisa dipastikan referendum rakyat Yunani akan menolak paket penyelamatan
yang menyakitkan itu karena sebagian besar rakyat Yunani tergolong usia senja
(di atas 55 tahun). Dengan kebijakan efisiensi nasional melalui pengurangan
uang pensiun, jelas beban berat membentang di depan mata seluruh rakyat Yunani.
Orang-orang kaya pun belum tentu menyetujui rencana bailout tersebut karena
mereka akan dipaksa untuk menaikkan pajak penghasilannya.
Dengan demikian, skenarionya adalah jika rakyat Yunani tidak menyetujui paket
baillout dalam referendum, yang terburuk adalah kebangkrutan Negeri Para Dewa
tersebut. Alhasil, Yunani tidak akan mendapatkan dana talangan dari troika,
yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Komisi Eropa, dan European Central Bank
(ECB).
Sebenarnya solusi untuk krisis keuangan Yunani ada dua. Pertama, pengetatan
ikat pinggang dalam fiskal sehingga mendapat bantuan troika. Kedua, Yunani
tidak membayar utang sehingga keluar dari zona Euro. Akibatnya, Yunani kembali
menggunakan mata uangnya sendiri yang nantinya akan mengalami devaluasi 200%
hingga 300% yang akan mengakibatkan Yunani pada kebangkrutan.
Celakanya, dampak lanjutannya jika Yunani sampai tidak mau membayar utangnya
adalah dapat merembet ke negara-negara tetangga yang mengalami hal serupa,
misalnya Irlandia. Selain itu, obligasi negara-negara tetangganya pun bakal
turun tajam. Akibatnya, kerugian perbankan Eropa akan membesar yang otomatis
Eropa mengalami krisis. Sehingga, perbankan Eropa tidak berani lagi meminjamkan
dananya ke perbankan lainnya. Pada akhirnya, uang mereka akanya diparkir di ECB
yang akan menjadi masalah tersendiri bagi ECB karena harus membayar mahal
ongkos moneter ini.
Dengan keluarnya Yunani dari zona Euro, maka akan terjadi krisis di Eropa yang
kemungkinan berlangsung hingga dua bulan. Itu mengakibatkan terjadinya
pergeseran kekuatan ekonomi ke negara-negara Asia. Tentu saja skenario itu
bakal mengejutkan pelaku pasar uang dan pasar saham.
Saat ini saja para investor sudah terkaget-kaget atas rencana referendum yang
diajukan Perdana Menteri Yunani George Papandreou. Keputusan itu membawa
sentimen negatif pada bursa global, dan tentu mendampak pada koreksi di Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) Burs Efek Indonesia (BEI).
Walau pun otoritas bursa mengatakan bahwa kekagetan investor itu hanya bersifat
sementara, namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa ke depannya investor tetap
akan panik. Ceritanya menjadi lebih menenangkan apabila para investor sudah
menghitung skenario terburuk akan adanya krisis.
Pada periode menengah, investor Eropa akan berpikir ulang untuk menanamkan
dananya di benua biru itu. Dengan ketidakpastian yang tidak kunjung reda,
sangat berisiko untuk mempertahankan dana lebih lama, yang pertumbuhan
ekonominya relatif labil. Jadi, perpindahan dana ke bursa-bursa negara
berkembang di Asia –termasuk BEI– menjadi salah satu pilihan penting dari
investor Eropa dan AS.
Untuk jangka pendek pun rupiah berpotensi tertekan karena pemodal cenderung
berpindah ke instrumen keuangan yang tergolong safe haven, yakni dolar AS
karena sentimen negatif sedang menerjang mata uang tunggal Eropa, euro. Di sini
Bank Indonesia harus setia memantau perkembangan agar bisa melakukan
upaya-upaya taktis untuk menstabilisasi agar kurs rupiah tidak bergerak liar.
Akhirnya, apapun yang akan terjadi, ada baiknya perkembangan yang dinamis dan
cepat berubah di kawasan Eropa untuk terus dicermati. Kemungkinannya bisa lebih
baik, stagnan atau malah lebih buruk.