Senin, 09 Januari 2012

referendum yunani memperburuk kirisis eropa


REFERENDUM YUNANI MEMPERBURUK KRISIS EROPA

Ibarat tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja Perdana Menteri Yunani George Papandreou pada Selasa lalu (1/11) secara mengejutkan membuat pengumuman akan mengadakan referendum atas rencana penyelamatan dari Eropa yang bernilai 130 miliar euro.
Yunani juga mengajukan rencana untuk penghapusan 50% dari utangnya yang maha besar. Namun Eropa mengancam akan mengeluarkan Yunani jika tidak bersedia mematuhi aturan bailout seperti yang sudah disepakati sebelumnya.
Kini malah muncul tudingan tajam kepada Yunani, bahwa untuk masuk Zona Euro, ada kemungkinan Yunani yang kini dilanda krisis keuangan telah melakukan kebohongan dalam data fiskalnya. Faktanya, sekarang rasio utang Yunani terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) mencapai 160%.
Padahal untuk masuk zona Euro, syaratnya rasio utang terhadap PDB tidak boleh melebihi 60% sebagai batas aman. Jadi, aneh ketika Yunani sudah masuk anggota Uni Eropa dengan 16 negara lainnya, negara ini malah terjerembab pada kubangan utang yang teramat besar. Praktis sebenarnya secara teknis keuangan Yunani sudah bangkrut atau pailit. Tidak heran apabila risiko gagal bayar (default risk) atas utang-utangnya sudah di depan mata.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS), yang juga sedang dilanda krisis keuangan, rasio utang terhadap PDB-nya sebesar 100%. Sementara rasio utang Indonesia terhadap PDB hanya 26%. Jelas bahwa kondisi Yunani sekarang sangat memprihatinkan sehingga Negeri Para Dewa itu terancam kebangkrutan. Kendati utangnya dipotong separuhnya pun utang negara ini tetap terbilang besar.
Masih ada jalan lain, yakni dengan restrukturisasi utang, sehingga dampaknya ke pasar finansial terbatas. Pasalnya, langkah tersebut secara hukum bukan default karena debitur, dalam hal ini Yunani  dan krediturnya sepakat melakukan restrukturisasi utang. Celakanya kalau sampai Yunani tidak mau membayar utang yang secara hukum dan pasar finansial dunia berimplikasi berat. Kalau Yunani sampai melakukan tindakan ini, investor khawatir negara tetangga juga ikut minta restrukturisasi. Inilah efek domino atas kegagalan Yunani dalam merestrukturisasi utangnya.
Masalahnya adalah kesepakatan untuk memberikan bailout kepada Yunani dengan segenap persyaratannya yang dirasakan pahit sudah diputuskan minggu lalu. Jadi, kenapa PM Papandreau justru ingin melakukan referendum. Yang mengkhawatirkan, seluruh unsur kabinet Yunani menyetujui rencana referendum tersebut sebelum dimintakan pendapat kepada seluruh rakyat Yunani.
Hampir bisa dipastikan referendum rakyat Yunani akan menolak paket penyelamatan yang menyakitkan itu karena sebagian besar rakyat Yunani tergolong usia senja (di atas 55 tahun). Dengan kebijakan efisiensi nasional melalui pengurangan uang pensiun, jelas beban berat membentang di depan mata seluruh rakyat Yunani. Orang-orang kaya pun belum tentu menyetujui rencana bailout tersebut karena mereka akan dipaksa untuk menaikkan pajak penghasilannya.
Dengan demikian, skenarionya adalah jika rakyat Yunani tidak menyetujui paket baillout dalam referendum, yang terburuk adalah kebangkrutan Negeri Para Dewa tersebut. Alhasil, Yunani tidak akan mendapatkan dana talangan dari troika, yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Komisi Eropa, dan European Central Bank (ECB).
Sebenarnya solusi untuk krisis keuangan Yunani ada dua. Pertama, pengetatan ikat pinggang dalam fiskal sehingga mendapat bantuan troika. Kedua, Yunani tidak membayar utang sehingga keluar dari zona Euro. Akibatnya, Yunani kembali menggunakan mata uangnya sendiri yang nantinya akan mengalami devaluasi 200% hingga 300% yang akan mengakibatkan Yunani pada kebangkrutan.
Celakanya, dampak lanjutannya jika Yunani sampai tidak mau membayar utangnya adalah dapat merembet ke negara-negara tetangga yang mengalami hal serupa, misalnya Irlandia. Selain itu, obligasi negara-negara tetangganya pun bakal turun tajam. Akibatnya, kerugian perbankan Eropa akan membesar yang otomatis Eropa mengalami krisis. Sehingga, perbankan Eropa tidak berani lagi meminjamkan dananya ke perbankan lainnya. Pada akhirnya, uang mereka akanya diparkir di ECB yang akan menjadi masalah tersendiri bagi ECB karena harus membayar mahal ongkos moneter ini.
Dengan keluarnya Yunani dari zona Euro, maka akan terjadi krisis di Eropa yang kemungkinan berlangsung hingga dua bulan. Itu mengakibatkan terjadinya pergeseran kekuatan ekonomi ke negara-negara Asia. Tentu saja skenario itu bakal mengejutkan pelaku pasar uang dan pasar saham.
Saat ini saja para investor sudah terkaget-kaget atas rencana referendum yang diajukan Perdana Menteri Yunani George Papandreou. Keputusan itu membawa sentimen negatif pada bursa global, dan tentu mendampak pada koreksi di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Burs Efek Indonesia (BEI).
Walau pun otoritas bursa mengatakan bahwa kekagetan investor itu hanya bersifat sementara, namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa ke depannya investor tetap akan panik. Ceritanya menjadi lebih menenangkan apabila para investor sudah menghitung skenario terburuk akan adanya krisis.
Pada periode menengah, investor Eropa akan berpikir ulang untuk menanamkan dananya di benua biru itu. Dengan ketidakpastian yang tidak kunjung reda, sangat berisiko untuk mempertahankan dana lebih lama, yang pertumbuhan ekonominya relatif labil. Jadi, perpindahan dana ke bursa-bursa negara berkembang di Asia –termasuk BEI– menjadi salah satu pilihan penting dari investor Eropa dan AS.
Untuk jangka pendek pun rupiah berpotensi tertekan karena pemodal cenderung berpindah ke instrumen keuangan yang tergolong safe haven, yakni dolar AS karena sentimen negatif sedang menerjang mata uang tunggal Eropa, euro. Di sini Bank Indonesia harus setia memantau perkembangan agar bisa melakukan upaya-upaya taktis untuk menstabilisasi agar kurs rupiah tidak bergerak liar.
Akhirnya, apapun yang akan terjadi, ada baiknya perkembangan yang dinamis dan cepat berubah di kawasan Eropa untuk terus dicermati. Kemungkinannya bisa lebih baik, stagnan atau malah lebih buruk.           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar