Nama : Dendi Setiawan
NPM : 19212152
Kelas : 4EA17 (Transfer)
KEPAK
ELANG
“EIDELWEIS
VIOLET”
Luka
dan bisa kubawa berlari...
Berlari
hingga hilang pedih perih
Dan
aku akan lebih tidak peduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi...(Chairil Anwar)
Luka
kan tertutup asa yang datang dari aliran nafas kemurnian kalbu, yang semburat
melukis kata. Waktulah yang kan membentuk satu kesatuan jiwa karena bahasa
nurani yang begitu indah terdengar, terasa, dan terlihat. Lalu menjadikan elegi
cinta menjadi nyanyian indah tak terperikan. Dan setelah melalui beberapa
proses pendekatan jiwa yang panjang berliku, komunikasi bahasa kalbu dua sejoli
mulai terjalani lewat telpon asmara yang setiap hari menjadi agenda syahdu
mereka.
“Aku
terluka kamu juga terluka, sepaktlah buat kubur semua derita kita kirana, kubur
pada kedalaman samudera hati yang paling dalam tak terkuak kembali oleh ombak
kehidupan...” sapa Elang pada Eidelweis yang bernama real Kirana.
“Terima
kasih Arga, tolong jadilah penjaga hatiku. Biarlah percintaan ini abadi tanpa
kita rusak dengan perjumpaan kita. Dan cerita kisah dunia maya kita benar-benar
putih tak terkoyakkan...”sambung Kirana pada Elang yang memakai nickname Arga,
yang artinya gunung. Mungkin kedekatan nama mereka gunung dan bunga yang
berarti “Bunga Gunung” Eidelweis. Bunga gunung yang abadi sangat mempengaruhi
laju perjalanan cinta mereka menuju pelabuhan kasih. Berharap sampannya
terkayuh tenang menerjang badai dan angin laut yang setiap saat bisa
mengguyurkan keras gelombangnya, sehingga membuat sampanya bisa
terombang-ambing lalu tenggelam.
“Kamu
telah bangkitkan jiwa rapuhku untuk kembali mengais masa depanku yang sempat
terkoyak dan tercabik. Namun sekarang tlah kamu kuatkan aku tuk membuat satu
dasar tapak jalanku ke pulau indah yang selama ini hanya merupakan sebuah
dahaga, hingga membuatku benar-benar merasa kering jiwa, kerontang
raga....sekarang telah kamu hantarkan aku lari dari lelap tidurku, menuai semua
impianku menjadi sebuah kenyataan indah yang aku rasa, lihat, dan dengar...”sambung
Kirana dengan berderai air mata.
“sudah
usaplah kelopak matamu yang basah, mekarlah kembali dan jangan layu lagi,
basahilah kelopakmu dengan embun pagi yang akan sambut harimu dengan kesejukan
jiwa, jadilah seperti bunga gunung yang abadi membawa keharumannya yang abadi,
tak terhapus oleh kencangnya sang angin. Jangan menangis Violet Eidelweisku”
Namun
kemudian, setelah terjalin kasih syahdu lembut lewat kata dan suara indah ini,
gejolak dan suara hati mereka sebagai adam dan hawa, tak terbendung akhirnya.
Hingga menjelang tahun baru, pada tahun 2000. Dua sejoli ini memadu kasih setia
untuk melanggar janji sebuah pertemuan, karena bahasa jiwa yang tak bisa
berkata jujur pada nurani mereka.
Sampai
akhirnya tiba saat memadu kasih untuk bertemu, mempertemukan raga mereka berdua
setelah mereka rasakan bahwa jiwa mereka tlah menyatu. Dengan perasaan yang
sangat gelisah, terharu, dan resah berkecambuk menjadi satu. Akhirnya untaian
dari bahasa kalbu mereka ungkap buat sebuah janji yang tak akan teringkari.
Pagi
itu dengan berbunganya hati yang berpeluh rindu, Elang menata hati untuk
berjumpa dengan wajah sang kekasih, yang selama ini hanya ada di angan dan
mimpinya. Selama dua tahun berkasih pada dunia maya, nampaknnya tak bisa
menjaga kekuatan deburan gelombang getar cinta yang setiap saat bertambah besar
dan terasa keras menggoncang kegigihan hati diantara mereka, untuk melihat
siapa potret diri mereka berdua. Hingga akhirnya kata sepakat terlanggar. “Sandarkan
cinta pada yang mengatur dan menggerakan waktu..maka cinta akan abadi..”
Dengan
perasaan gundah porak poranda, dan resah yang tak berkesudahan Elang setia
menunggu kedatangan Kirana. Pesawat Kirana belum datang juga setelah 5 jam
telambat dari waktu yang tlah dijadwalkan. Beberapa menit kemudia Elang
mendapatkan informasi bahwa pesawat sang kekasih terkena musibah dengan
menabrak sebuah gunung dikarenakan cuaca alam yang tidak bersahabat mengiringi
laju Kirana untuk menemuinya.
Rasanya
gelap warna langit yang tak berbintang, semua lampu padam, punah semua asa yang
tlah terukir, hancur semua puing hati yang tlah terbangun dengan kerentaan
hati. Elang terdiam tak bergeming. Beku hati tak tertata lagi terasa sangat
berat tapak kakinya yang berbalut sepatu lars kulit hitam tuk melangkah. Terasa
kakinya terpaku kuat di bumi, tak tergoyahkan lalu lalang orang-orang di
seputarnya.
Dan
ternyata, apa yang selama ini di untaikan Kirana lewat bait puisi apiknya, “Bahwa
cinta itu tak bisa dibunuh atau ditumbuhkan siapapun, jika Sang Raja Manusia
tidah berkehendak, maka selamanya cinta akan menjadi misteri yang tak pernah
terungkapkan oleh siapapun”.
“Apapun kata
cinta kita, tetaplah kisah kita menjadi roman yang abadi sampai aku pahami apa
rencana Tuhan setelah yang kita alami dengan uraian air mata..”ucap Elang
disamping jasad sang kekasih. Setelah pemakaman cintanya, Elang yang tak pernah
tahu wajah cantik Kirana, telah merenda kasih dengan puisinya. Puisi adalah
sajak jiwa kelunya yang hantarkan putih tulusnya kasih, yang sebenarnya sangat
diinginkan untuk berlabuh dan bersandar sampai hebusan nafas terakhirnya.
“Kaulah Sang Penggerak waktu, bila
mungkin takdirMU adalah kesendirianku. Aku akan sandarkan semuanya kepadaMU,
karena hanya Engkaulah yang memiliki perhitungan yang Maha Terbaik. Jangan
lelahkan aku”.